Supremasi Hukum Alat Popularitas Era Reformasi ?

Diposting: 26 Sep 2018
Loyalitas sempit yang melihat permasalahan dari aspek kepentingannya, arogansi sektoral seakan menjadi kewajiban tatkala setiap entitas menginginkan ruang sendiri-sendiri.
Yang pada akhirnya justru menciptakan kemandegan terasa di sana-sini, nafas dinamika seolah terlihat namun hasilnya masih nihil, sepertinya ada gaduh aktivitas namun ujungnya nol.
Mengapa terjadi demikian, itu karena sebab banyak kalangan yang telah terjebak pengertian kulit sehingga tidak bisa melihat substansi, tidak sedikit golongan yang terjerat maksud tanpa memahami maknanya.
Ketika bicara supremasi hukum orang tak bisa mengurai ke mana hukum melangkah benar guna meraih substansi tujuannya, hiruk-pikuk "supremacy of law" hanya sebagai alat menghujat, saling menjatuhkan, memecah belah kelompok, mencari popularitas, dan lain sebagainya, dan rata-rata hanya bermuara pada kebohongan belaka.
Persoalannya kapan bangsa ini tiba di tujuan bila aturan hukum tidak dijalankan dengan benar guna meraih tujuan negaranya, ketika era reformasi yang diniatkan guna memperbaiki bangsa agar tak kian terpuruk, justru kesempatannya dipergunakan untuk mengobrak-abrik dari dalam negeri sendiri.
Ketika unjuk rasa bukan lagi sebagai penyampaian aspirasi, namun telah berubah menjadi profesi, alat bargaining, bahkan sarana unjuk gengsi politisi, ketika ada sekelompok masyarakat benar-benar ingin menuangkan aspirasinya, lingkungannya sudah duluan salah persepsi, aparatnya pun sudah terlanjur apriori.
Entah di sadari atau tidak supremasi hukum telah mengajari anak-anak di negeri ini untuk tidak ingat lagi etika moral sosial, termasuk lupa hormat kepada orang tua serta pemimpinnya.
Supremasi Hukum dan Inti Keadilan
Inti Keadilan adalah moderasi yang dilakukan secara bijaksana, sebagai contoh ilustrasi ; dengan menindak tegas atau menembak mati pelaku kejahatan begitu saja tanpa peradilan (extra judicial), memang tidak bijak, Namun dengan membiarkan para pelaku kejahatan tersebut tetap hidup dan membawa ancaman bahaya yang lebih luas, apakah hal tersebut juga dapat dikatakan sebagai sikap.
Agar tidak kecolongan, perlu menerapkan pendekatan Situational Crime Prevention (pencegahan kejahatan yang bersifat situasional) untuk meminimalisir resiko,
Stuational Crime Prevention (SCP) pada dasarnya lebih menekankan pada bagaimana caranya mengurangi kesempatan pelaku untuk melakukan kejahatan, terutama pada situasi, tempat, dan waktu tertentu.
Untuk menggunakan metode tersebut pihak aparat penegak hukum dan masyarakat tentunya perlu memahami terlebih dahulu motif dan pikiran rasional para pelaku kejahatan, yang kerap beraksi secara terang-terangan ataupun secara sembunyi-sembunyi.
Dari Berbagai Sumber
Penulis: Freddy Watania
Editor: Riki Susanto
Artikel Terkait Berdasarkan Kategori
-
Advokasi Compensation and Benefit Layak Bagi Tenaga Pendidik
11 Dec 2024
-
Operasi KPK Pemantik Chaos Pilkada Bengkulu?
24 Nov 2024
-
Menyelami Bentuk-bentuk Media Massa: Dari TV ke Tiktok, Bagaimana Gen Z Terhubung?
06 Oct 2024
-
Menuju Green Election; Urgensi Pengaturan Tanggungjawab Limbah Alat Peraga Kampanye
27 Sep 2024
-
Membangun Ekosistem Kendaraan Listrik
09 Sep 2024
Topik Terkait Berdasarkan Tags
-
Tak Gubris Surat BPN, Forum Petani Bersatu Datangi Kantor PT SIL
13 Jan 2025
-
KPU Tetapkan Gubernur dan Wakil Gubernur Bengkulu Terpilih
09 Jan 2025
-
Ancam Nyawa, Warga Minta 3 Tower SUTT PLTU Teluk Sepang Dibongkar
08 Jan 2025
-
Jelang Musda Golkar, 7 Nama Calon Ketua Mencuat
06 Jan 2025
-
Pelabuhan Pulau Baai Terus Mendangkal, Distribusi Logistik Terancam
27 Dec 2024