Perempuan di Politik Masih sebagai Pemanis

Gambar

Diposting: 03 Jun 2023

Direktur DEEP Indonesia, Neni Nur Hayati, Foto: Dok/Instagram @neni1783

Indo Barat - Pada Pemilu 2019 Keterwakilan perempuan mengalami peningkatan mencapai 20,53 persen. Sayang, peningkatan jumlah keterlibatan perempuan itu belum berbanding lurus dengan kebijakan-kebijakan yang dihasilkannya. Masih rentan dalam kebijakan publik dan seolah hanya sebagai pemanis.

”Momentum 25 tahun reformasi, semestinya kesetaraan gender sudah mencapai aspek substansi. Bukan sekadar angka dan statistik yang meningkat. Sebab, posisi perempuan akan sangat krusial dalam pembangunan politik di Indonesia,” kata Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati.

Neni kemudian menyoroti hadirnya PKPU No 10/2023 yang berpotensi mengancam keterwakilan perempuan di parlemen. Sebab, dalam penghitungan 30 persen keterwakilan, jika terdapat pecahan desimal akan dilakukan pembulatan ke bawah, bukan pembulatan ke atas. Skema ini berpotensi mengancam keterwakilan perempuan tidak menjadi genap 30 persen.

”Ini adalah salah satu problem serius yang berpotensi mengancam keterwakilan perempuan. Hemat saya, PKPU tersebut harus direvisi,” ujar Neni yang juga menjabat sebagai Wakil Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah

Selain itu, dalam pandangannya, parpol juga memiliki problem yang cukup serius terhadap keterlibatan dan keterwakilan kaum perempuan yang seolah-olah hanya menjadi pemanis atau pelengkap.

”Perempuan yang punya kapasitas dan kapabilitas bagus ini terkadang justru kalah hanya karena tidak punya dana. Mereka kalah dengan yang cuma memiliki modal finansial besar,” kata Neni dalam Forum Diskusi yang diselenggarakan PP Nasyiatul Aisyah, Sabtu, (03/06/2023)

Terkait dengan peran kader-kader perempuan Muhammadiyah, Neni menyorot bahwa keterlibatan dan diaspora kader perempuan Muhammadiyah di ranah-ranah kebangsaan masih sangat minim. Kendati keterlibatan perempuan Muhammadiyah tersebut terbagi dalam tiga ranah, yakni sebagai peserta pemilu, sebagai penyelenggara pemilu, dan sebagai pemilih.

Sejauh ini, menurutnya kader-kader perempuan Muhammadiyah masih terjebak pada wacana-wacana feminisme kultural, belum pada feminisme struktural. Kader perempuan Muhammadiyah masih banyak hanya berkutat pada hal-hal yang hanya bersifat prosedural.

”Selain itu juga ada problem atau tantangan di internal ataupun pada keluarga yang masih kuat budaya patriarki, itu tentu berpengaruh besar pada keterlibatan perempuan Muhammadiyah di sektor-sektor kebangsaan,” ungkap dia.

Menurut Neni, sejatinya Nasyiatul Aisyiyah (NA) bisa menjadi cikal bakal kader perempuan Muhammadiyah untuk terjun dan berdiaspora di ranah politik. NA bisa menciptakan terobosan-terobosan serta inovasi untuk menyelesaikan permasalahan klasik tersebut.

”Aisyiyah perlu juga untuk melakukan pemetaan kader, melakukan pendampingan dan strategi komunikasi politik untuk memastikan terdistribusinya kader-kader perempuan yang potensial, yang memiliki minat di politik, lembaga negara ataupun penyelenggara pemilu dan tentu itu semua bisa dilakukan dengan memperkuat kaderisasi dengan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kader-kader perempuan Muhammadiyah,” jelas Neni.

Editor: Iman SP Noya

Artikel ini telah tayang di maklumat.id dengan judul “Keterwakilan Perempuan Masih Seolah Sebagai Pemanis”