Peran MK dalam Penegakan Konsepsi Negara Hukum Indonesia

Diposting: 20 Nov 2020
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi 'Negara Indonesia adalah negara hukum'.
Dalam konsep negara hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Indonesia sebagai negara hukum idealnya menjadikan hukum sebagai rule of the games dalam penyelenggara negara termasuk pembentukan peraturan perundang-undangan.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa, Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti hanya peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantif.
Fakta yang ada pada saat ini Indonesia sedang dihadapkan dengan suatu fenomena obesitas hukum yang menimbulkan disharmoni antara peraturan perundang undangan, disharmoni ini akan menimbulkan suatu akibat yang fatal ketika diimplementasikan oleh aparat pelaksana undang-undang yang menimbulkan miskoordinasi dari pelaksana undang-undang yang hal ini jelas bertentangan dengan konsep negara hukum.
Indonesia sejak tahun 2000-2017 tercatat memiliki jumlah peraturan sebanyak 35.901 peraturan, peningkatan secara kuantitas tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan secara kualitas. Perkembangan ketatanegaraan serta banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia berdampak pada peningkatan jumlah regulasi yang di bentuk untuk memenuhi kebutuhan Mahkamah Konstitusi di Indonesia.
Pada tahun 2019 regulasi di Indonesia lebih dari 43 peraturan perundangan-undangan, banyaknya regulasi mengakibatkan lahirnya tupang tindih peraturan perundang-undangan yang di nilai sebagai landasan yang kuat. Regulasi ini nampaknya dengan banyaknya kaidah-kaidah hukum yang timbul akibat pengujian norma di kekuasaan kehakiman tercatat hingga November 2020 ada 3047 putusan MK, MA 5,530,850 putusan. Dengan kontur seperti itu jelas bahwa pembentukan peraturan di Indonesia belumlah terlaksana dengan baik.
Muhammad Yamin berpendapat bahwa, Republik Indonesia ialah suatu negara hukum (rechtsstaat government of laws) tempat keadilan yang tertulis berlaku, bukanlah negara polisi atau negara militer, tempat polisi dan prajurit memegang pemerintah dan keadilan, bukanlah pula negara kekuasaan (rechtsstaat) tempat tenaga senjata dan kekuatan badan melakukan sewenang-wenang.
Bahwa dalam konsep negara hukum harus menaati hukum.
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yg dibuat oleh pemerintah harus termuat dalam landasan hukum yang jelas, berlandaskan pada Undang-undangn No.15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jangan sampai Undang-undang yang di hasilkan dapat mencederakan prinsip-prinsip negara hukum. Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik dapat dipahami bahwa tidak hanya warga negara yang terlibat dalam persoalan hukum dapat diadili sesuai hukum yang berlaku, akan tetapi juga terhadap pemerintah, dan atau peraturan perundang-undangan yang dinilai saling bertentangan.
Artinya, tugas utama MK adalah menjaga agar tidak ada undang-undang yang bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jadi setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang untuk memberikan pengaturan hukum bagi masyarakat tidak boleh bertentangan dengan konstitusi sebagai norma hukum tertinggi. Dari sinilah sehingga Mahkamah Konstitusi disebut sebagai pengawal dan penafsir tunggal konstitusi.
Dalam pasal 24C ayat (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Mahkamah konstitusi juga lembaga upaya memperkuat sistem ‘checks and balances’ antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi.
Penulis: Himka Juwita Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu
Editor: Mahmud Yunus
Artikel Terkait Berdasarkan Kategori
-
Advokasi Compensation and Benefit Layak Bagi Tenaga Pendidik
11 Dec 2024
-
Operasi KPK Pemantik Chaos Pilkada Bengkulu?
24 Nov 2024
-
Menyelami Bentuk-bentuk Media Massa: Dari TV ke Tiktok, Bagaimana Gen Z Terhubung?
06 Oct 2024
-
Menuju Green Election; Urgensi Pengaturan Tanggungjawab Limbah Alat Peraga Kampanye
27 Sep 2024
-
Membangun Ekosistem Kendaraan Listrik
09 Sep 2024
Topik Terkait Berdasarkan Tags
-
Faperta Unib Perkenalkan Pupuk Kotoran Wallet dalam Budidaya Kopi
09 Dec 2024
-
Menyelami Bentuk-bentuk Media Massa: Dari TV ke Tiktok, Bagaimana Gen Z Terhubung?
06 Oct 2024
-
Peneliti: Suhu Air di Kawasan PLTU Teluk Sepang Naik 6 Derajat, Ancaman Serius Biota Laut
31 Jul 2024
-
Petisi Kampus untuk Pemerintahan Jokowi Kian Meluas, Kampus Bengkulu Belum Bergerak
03 Feb 2024
-
FKIK UNIB Segera Miliki Program Studi Dokter Spesialis
29 Dec 2023