Pendidikan Formalitas Turun Temurun

Gambar

Diposting: 24 Jun 2019

Poto Ilustrasi Makmanroe



Setiap orang di penjuru dunia menginginan anaknya mendapatkan pendidikan yang tinggi dan layak tanpa terkecuali. Sekolah dan universitas baik negeri Yayasan maupun yayasan berlomba lomba membangun gedung gedung sekolah guna menapung tingginya angka kebutuhan pendidikan. 



Banyak orang menginginkan menempuh pendidikan tinggi hingga ke luar negeri agar mendapatkan posisi jabatan tinggi dan menjanjikan dalam bekerja. Namun, tidak sedikit peserta didik yang menganggapnya sebagai formalitas, dengan kata lain pendidikan sebagai standar gengsi semata. Misalnya, diterima di sekolah atau di Perguruan Tinggi ternama menjadi kebanggaan tersendiri termasuk bagi orang tua peserta didik.



Tidak sedikit orang tua berpendapat bahwa pendidikan merupakan transfer ilmu dari guru kepada murid di bangku sekolah. Namun sangat disayangkan bila guru hanya menyebarkan ilmunya ke muridnya hanya sebagai tugas pendidik yang dibebankan kepadanya dan begitupun para siswa bila hanya menganggap ilmu yang didapat sebagai angin lalu atau sebagai syarat mendapatkan nilai. Maksudnya, ia akan belajar rajin bila menghadapi ujian semata tanpa memikirkan pentingnya ilmu yang ia pelajari di bangku sekolah.



"maaf buk ganggu, Ga papa kok bu, ini cuma formalitas aja," begitu jawab sales yang datang ke sebuah toko menawarkan barang dagangan. Kalimatnya simple, tapi sering (kalau bukan sangat sering) saya dengar "cuma formalitas". Karena sering ini, mungkin ya,.. sudah menjadi budaya, yaitu budaya formalitas.



Pikiran tentang budaya pendidikan formalitas ini teringat peristiwa "penggerebekan acara wisuda" pada beberapa tahun lalu. membuat penulis makin percaya bahwa pendidikan dan sekolah formalitas itu ada.



Penulis tidak menyangkal pernah terlibat pada kelas formalitas.



Dosennya, dosen formalitas. Hadir dikelas karena formalitas kehadiran, dan menyuruh mahasiswa "presentasi sepanjang hari" sebagai bagian pembelajaran formalitas. Apakah presentasi itu di berikan umpan-balik (feedback) oleh dosennya? Ya jelas tidak, namanya juga pembelajaran formalitas.



Mahasiswanya juga mahasiswa formalitas. Datang ke kelas karena formalitas kehadiran. Isi absen dan sepanjang sesi kelas belajar Facebookan, Instagraman, chattan sama kawan sekelas bahkan tidur. Presentasinya ya cuma baca copy an dari internetan semalam yang dicantumkan sumber buku agar dipermudah ACC sama dosen pengampu, yang sebenarnya ngak perna dibaca secara teliti sama dosennya hehehe. Isi powerpoint-nya ya makalah itu, sekedar memindahkan dari kertas ke slide. Ditanya tentang isinya juga belum tentu mengerti. Ya namanya saja mahasiswa formalitas, belajarnya pun formalitas. 



Ya wajarlah, tugas perkuliahan ini formalitas saja, .. kata mahasiswanya, dosennya juga tidak baca. 



Eh ternyata, mahasiswanya benar, dosennya tidak baca. Ya seperti dosen formalitas diatas, ngasih nilainya juga formalitas, yaitu menerima paper dari mahasiswa dan dosen secara formalitas memberikan nilai. Ajib! Tidak peduli isinya apa, yang penting di jilid rapih, ada judul dan nama, halaman depan belakang tampak indah, dan tebal jumlah halamannya. Nilainya pasti oke! Jangan dikomentar tentang hal ini, ya karena ini adalah demi formalitas saja.



Ngak percaya..? Penulis perna buktikan hehe



Waktu itu penulis jarang masuk karna banyak aktifitas diluar kelas yang dianggap lebih penting dari pada duduk dikelas 2 jam lebih yang membosankan dan sudah kehilangan esensi perkulihan, dan diakhir semester penulis mendapatkan nilai B dan penulis langsung protes kepada sang dosen pengampu kenapa dikasih B, padahal kuliah masuk terus, tugas dikerjakan diskusi aktif sesuai dengan kontrak belajar pertamayang kita sepakati apabila 3 unsur tersebut dipenuhi maka layak untuk mendapatkan A, tak pelak gayung bersambut dosennya mengamini untuk menganti dari B ke A.



Hampir 70 - 80 % kemampuan praktis dalam hidup kita dapatkan di luar sekolah, minimal di luar kelas.



Contoh : mengendarai motor, memarut kelapa, menjemur baju, mencuci baju, menyetrika, memanjat kelapa, main game dan smartphone, nembak cewek lalu ditolak, move on dari patah hati, sampai pakai dalaman, cara mengurus BPJS, cara buat KK, mengatur strategi agar tidak terjebak macet, termasuk cara praktis dan cerdik memasukkan anak ke sekolah berzonknasi, melempar mangga tetangga, nyebarin undangan selametan ke seluruh warga, berenang di laut dll..



So, masih menomor duakan pendidikan di keluarga dan lingkungan?



Itulah sepengal tulisan status fb bang hardi Bengkulu yang dianggap penulis sebagai founder pendidikan non formalitas Bengkulu, yaps sekolah alam “langit biru namanya” yang mengedepankan pendidikan karakter.



Pembelajaran terintegrasi alam. para peserta diajari belajar secara langsung tidak sekedar teori.

“Misal materi pertanian ada lahan pertanian. Para siswa menanam sendiri, merawat tanaman sendiri hingga panen sendiri. Begitu juga dengan peternakan, para siswa diajari hingga menjual hasil ternaknya,”



Tentu untuk masuk kesekolah langit biru tidak perlu mengunakan zonasi karna bukan negeri hehe.



Sekolah alam itu kampus..? 



Ya tentu bukan sekolah alam langit biru sekolah TK.



Punulis sengaja mengambil contoh sekolah alam langit biru, selain sekalian promosi memang esensi sanggat jelas pada sekolah alam langit biru, bagaimana pendidikan kita hari ini sudah kehilangan esensi dari pada pendidikan itu sendiri.



Pendidikan kita hari ini seolah hanya kewajiban orang tua menyekolahkan anaknya setinggi mungkin berharap mendapatkan pekerjaan dan masa depan yang layak dan mengesampingkan caranya, nilai nilai moral etika, adab dan karakter hanya bagian mata pelajaran formalitas disekolah dan pergurun tinggi.



Penulis: Kelvin Aldo 

Editor: Alfridho Ade Permana 


Topik Terkait Berdasarkan Tags

Tidak ada artikel terkait berdasarkan tags.