Panjat Pinang, Warisan Kolonial yang Menjadi Idola di Hari Kemerdekaan

Gambar

Diposting: 18 Aug 2019

Panjat Pinang, Poto/IDNtimes



Indo Barat – Pemprov Bengkulu ‘menanam’ 50 Pohon Pinang untuk menghibur warga Bengkulu dalam rangka perayaan HUT RI Ke-74 bertempat di Lapangan Bola Pantai Berkas Kota Bengkulu, Minggu (18/08/2019)



Pohon Pinang yang disusun membentuk angka 74 itu menyimbolkan hari jadi Indonesia Ke-74 yang kemudian dibagi dalam beberapa kategori yaitu 8 pohon untuk untuk anak-anak, 4 untuk ibu-ibu dan 38 pohon untuk laki-laki. 



Kebijakan Pemprov Bengkulu itu berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh Wali Kota Langsa Aceh yang secara tegas melarang perlombaan Panjat Pinang. Wali Kota Langsa Aceh menerbitkan Instruksi Nomor 450/2381/2019 tentang peringatan HUT Ke-74 Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 2019. Wali Kota melarang perlombaan Pohon Pinang di lingkungan pemkot Langsa. 



Wali Kota beralasan perlombaan panjat pinang tidak memberi edukasi sama sekali terhadap masyarakat "Tidak melaksanakan kegiatan panjat pinang di setiap gampong dikarenakan secara historis merupakan peninggalan kolonial Belanda dan tidak ada nilai edukasinya," Kutipan poin keempat Instruksi Wali Kota Langsa. 



Dikutp detik.com, anggapan bahwa panjat pinang merupakan warisan kolonial Belanda, dibenarkan oleh sejumlah peneliti sejarah. Dalam buku 'Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal' karya Fandy Hutari, disebutkan bahwa sekitar tahun 1930-an, panjat pinang merupakan hiburan bagi orang Belanda. Biasanya panjat pinang diadakan bersamaan dengan hajatan besar orang-orang Belanda.



"Perlombaan memanjat pohon pinang pada masa ini hanya diikuti oleh orang-orang pribumi. Sedangkan orang-orang Belanda cuma tertawa-tawa menyaksikan orang pribumi mati-matian memanjat pohon pinang. Panjat pinang biasa juga diadakan oleh keluarga pribumi kaya-raya, antek kolonial," tulis Fandy dalam bukunya.



Sementara itu, menurut pemerhati budaya Bengkulu Bennie Hakim Bernardie, panjat pinang kala itu adalah acara yang dimaksudkan sebagai hiburan orang Belanda namun, yang ikut serta dalam lomba panjat pinang lazimnya adalah orang pribumi. Orang Belanda, hanya menonton sambil tertawa-tawa.



“Mereka menganggap hal ini sebagai lelucon dan menertawakan ketika ada orang yang terjatuh. Sementara masyarakat Indonesia bersusah payah memanjat dan meraih hadiah, orang-orang Belanda hanya menonton dari bawah” kata Bennie, Minggu (18/09/2019)



Ditambahkan Bennie, bedanya pada masa itu hadiah yang diperebutkan adalah bahan pokok seperti beras, roti, gula, tepung, dan pakaian. Barang tersebut adalah sebuah kemewahan bagi masyarakat Indonesia yang saat itu hidup serba kekurangan



“Wajar saja kalau banyak orang menganggap bahwa panjat pinang hanya membawa kenangan buruk di masa kolonial Belanda. Masa itu di mana kita, bangsa Indonesia ditindas dan ditertawakan oleh bangsa lain” ujarnya



Namun, kata Bennie,ada juga yang menilai bahwa panjat pinang sebenarnya mengukuhkan strata sosial yang ada di masyarakat, Panjat pinang  bisa juga berarti cara meneladani para pejuang kita yang  melawan penjajah dengan cara kerja sama, semangat, dan pantang menyerah “Mungkin itu makna positif yang juga berkembang di masyarakat sehingga panjat pinang tetap menjadi idola saat perayaan hari kemerdekaan” tutupnya



Reporter: Anasril Azwar

Editor: Riki Susanto