Membangun Sambil Merobohkan

Gambar

Diposting: 12 Mar 2020

Oleh: Dr. Emilda Sulasmi, M. Pd*

“Agar kau pahami rahasia hidup, kusampaikan ihwal dengan segenap rahasianya. Mati sajalah kau jika tak punya jiwa. Jika kau punya, kau akan hidup kekal”. Demikian penggalan sajak yang ditulis oleh Muhammad Iqbal yang terkenal dengan sajak yang bercorak sufistik serta pemikiran keislamannya, yang dianggap dekonstruktif bagi sebahagian besar kalangan.



Namun hal ini tentu relevan dengan situasi terkini dimana manusia hidup seolah tanpa jiwa. Kehidupan dinilai dari pencapaian materi. Kesuksesan dinilai dari hal-hal artifisial. Semakin ditelusuri maka akan semakin terasa paradoksnya. 



Realitas modernisasi menghantarkan manusia kepada absurditas nilai, pseudo norma, dan bahkan nir moralitas. Batas antara baik dan buruk semakin buram, yang tak lazim menjadi biasa serta yang aneh menjadi trend. Inilah yang disebut membangun sambil merobohkan.



Membangun sambil merobohkan sesungguhnya kalimat yang pernah dilontarkan oleh Muhammad Natsir, lebih tepatnya ujaran tersebut berbunyi “Jangan kita membangun sambil merobohkan: membangun gedung sambil merobohkan akhlak, membangun industri sambil menindas pekerja, membina prasarana sambil memusnakan lingkungan.“ kalimat ini kiranya tepat digunakan untuk mewakili fenomena sosial terhadap anak yang berlangsung secara simultan dan konsisten. Kata ini juga dapat mewakili kegeraman penulis terhadap berbagai isu tentang anak yang kemudian menjadi perbincangan secara nasional di televisi melalui program Indonesia Lawyer Club (ILC) yang di pandu oleh jurnalis senior Karni Ilyas.



Kesadaran ruhiah kita tergugah ketika terjadi suatu peristiwa, dimana peristiwa tersebut sesungguhnya menjadi cermin dari lingkungan yang ada disekitar kita. Kasus pembunuhan yang dilakukan seorang anak terhadap anak lainnya yang baru-baru ini terjadi, merupakan satu contoh dimana kita baru menyadari jurus ketika pertarungan usai. Lalu bak parade membuat fokus kita tertuju pada masalah tersebut, dan berkumpul untuk mendiskusikan. Ketika habis jam tayang, maka kembali kepada fikiran dan kehidupan masing-masing, “Kami Diskusikan, Anda simpulkan” demikian tagline yang seolah mengarahkan kita untuk mengatakan, eksekusi dari hasil diskusi diserahkan kepada pemirsa.



Oleh karenanya, adakalanya kita harus menanggalkan identitas pejabat, penguasa, pengusaha, politisi, dan profesi apapun yang melekat untuk menatap lebih dalam kapasitas kita sebagai orang tua, menukik lebih tajam pada kebutuhan ruhani anak yang menjadi tanggung jawab ilahiah. Menyadari dan mengoreksi keteledoran yang terjadi, ada yang terlupakan dari sisi substansi dan esensi hidup yang dititipkan sang Maha Kuasa pada kita.



Diskursus, riset dan perlakuan eksperimental telah banyak dilakukan oleh berbagai kalangan, baik profesional maupun non profesional. Semuanya memilik nada yang sama, bahwa anak adalah aset bangsa yang harus di jaga dan dipelihara secara seksama dalam rangka memperkuat karakter dan identitas bangsa. Regulasi dari pemerintah telah turut pula mendukungnya, sekolah sebagai media juga terus berupaya guna menemukan formulanya, dan tentunya sebagai orang tua kita sangat berharap pada semuanya.



Namun yang terjadi? Disaat norma, nilai dan etika di bungkus rapi dalam dialektika, pada saat bersamaan ditampilkan realitas yang menggerogotinya. Berbagai medium yang menjadi sarana dimana seharusnya dapat memperkuat norma, nilai dan etika, akhirnya turut serta mendistorsi tujuannya. Hal ini dapat dilihat dari ragam tayangan, baik di laman jejaring sosial, platform youtube, media televisi, media cetak dan elektronik dan lain sebagainya. 



Para filosof post-modern kerap menyebut situasi ini sebagai hipermoralitas. Yakni sebuah situasi ketika moralitas mengalami krisis akibat dari ketiadaan batas antara baik dan buruk, benar dan salah demikian juga soal legal dan ilegal. Dilihat dari fase-fase perkembangannya, maka hipermoralitas pada fase ini termasuk pada fase moralitas utilitaristik, yakni konsep moralitas yang mementingkan keuntungan bagi sebanyak mungkin manusia, meski itu akan merugikan sebagian kecil manusia lainnya.



Menarik apa yang diungkapkan oleh Alvin Toffler, pemikir futuristik yang berujar bahwa mesin-mesin hasrat berupa kapitalisme ekonomi, liberalisme politik dan fundamentalisme agama yang telah menimbulkan banyak kerusakan itu hanya dapat dikendalikan oleh spiritualitas. Ketertundukan manusia pada kekuatan spiritual akan membuatnya sadar bahwa kekayaan ekonomi, kekuasaan politik dan simbolisme agama hanyalah hal-hal yang semu. Kesejatian hidup adalah ketika manusia mampu menjadi penyeimbang antara identitas kemanusiaanya dan esensi kehambaannya.



Oleh karena itu, kiranya penting untuk di jadikan bahan renungan bersama, bagaimana menjaga anak sebagai aset bangsa, aset negara dan tentunya tidak kalah pentingnya anak sebagai aset agama. Kesadaran akan hal ini akan menjadi sia-sia manakala tidak ditemukan kesepahaman bersama antar orang tua bahwa puncak solusi berbagai fenomena tersebut adalah spritualitas beragama.



Menumbuhkan spiritualitas di tengah praktik keberagamaan yang kering kerontang akan makna dan sebaliknya subur oleh nalar simbolisme tentu bukan hal yang mudah. Diperlukan dekonstruksi cara pandang dan praktik keagamaan yang mengarahkan umat beragama untuk tidak hanya berhenti pada wilayah terluar (eksoterik) agama, melainkan menyelami area terdalam (esoterik) agama. Di wilayah esoterik agama itulah manusia dimungkinkan untuk menemukan ajaran tentang esensi tugas sebagai hamba, sebagai orang tua, sebagai pemimpin, sebagai warga negara, yang dapat dijadikan fondasi dan sumber hukum, etika dan moralitas. Semoga Bermanfaat. 



*Penulis adalah Alumni Program Doktor Universitas Negeri Jakarta dan ASN Pada Dinas Sosial Pemerintah Kota Bengkulu


Kategori: Opini