Ketika "Algojo" Pemburu Koruptor KPK "Dijegal" Tes Wawasan Kebangsaan

Gambar

Diposting: 18 May 2021

Oleh: Elfahmi Lubis 



Kasus dijegalnya 75 orang "algojo" pemburu koruptor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dianggap tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) peralihan status kepegawaian menjadi ASN, mengingatkan kita kembali pada memori lama ketika rezim orde baru berkuasa yang dikenal dengan Penelitian Khusus (Litsus). Melalui instrumen kekuasaan yang bernama Litsus ini, berapa banyak hak warga negara direnggut untuk menjadi PNS, TNI/Polri, menduduki jabatan tertentu di birokrasi, parlemen, BUMN, dan institusi plat merah lainnya. Kalau dulu tuduhan tidak lolos Litsus isunya karena  terlibat PKI atau keturunan genetik PKI atau kritis terhadap terhadap rezim saat itu, kini tuduhan tidak lolos TWK karena dianggap "radikal" dan "taliban". 



Namun, dilihat dari cara dan modus yang dilakukan sebenarnya tidak jauh berbeda antara Litsus dengan TWK, hanya obyek tuduhannya saja yang berbeda, jika Listus isu tuduhannya adalah PKI sementara TWK isu tuduhannya "radikal," "kadrun," dan "taliban" .



Pertanyaan terbesar yang muncul, mengapa kita di era distrupsi saat ini masih berkutat pada masalah simbolik dan prosedural yang remeh temeh seperti untuk mengukur kinerja, kompetensi, dan nasionalisme seseorang. Apakah hanya karena salah mengisi daftar pertanyaan yang berkualitas "rendah" meminjam istilah taksonomi Bloom pada lembaran tes wawasan kebangsaan (TWK) lalu menjadi dasar untuk menyingkirkan orang-orang yang berintegritas, jujur, kompeten, dan profesional dalam proses pemberantasan korupsi di negeri "maling" ini. 



Apalagi pertanyaan diajukan dalam TWK sarat dengan pertanyaan aneh-aneh, mulai pertanyaan sudah punya pacar apa belum, ngapain aja kalau berpacaran? ada juga pertanyaan bersedia atau tidak melepas jilbab. Disuruh membaca syahadat ulang dan sampai disuruh membaca doa makan, serta lain sebagainya yang masuk dalam wilayah privasi seseorang. Seharusnya pertanyaan TWK dan wawancara tidak boleh bermuatan rasis, seksis, dan diskriminatif.



Mirisnya lagi ada diantara nama 75 orang yang dinyatakan tidak lolos TWK, yang integritas dan  kompetensi tidak diragukan lagi. Sebut saja Sujanarko, beliau adalah salah satu Direktur di KPK. Tahun 2015 Presiden Jokowi memberikan penghargaan Satyalancana Wira Karya sebagai tanda kehormatan karena dharma bakti yang besar pada nusa dan bangsa. Selanjutnya Novel Baswedan, penerima penghargaan International Anti-Corruption Champion Fund (PIACCF) yang diserahkan Perdana Menteri Tun Dr Mahathir Mohamad di Putrajaya, Malaysia.



Pertanyaan apakah sosok-sosok orang berintegritas seperti layak "dijegal" hanya karena dianggap tidak lolos tes wawasan kebangsaan? Tentu, fenomena ini pasti mengelikan, lucu, akrobatik, dan mencederai nalar dan rasionalitas kita. Untung di tengah kecaman dan kritik semua pihak, akhirnya Presiden Jokowi memberikan respon dan tanggapan melalui siaran langsung di channel youtube resmi Sekretariat Negara, yang pada intinya ketidaksetujuan beliau terhadap tindakan pimpinan KPK yang menonaktifkan 75 orang pegawai KPK atas dasar tidak lolos tes TWK. 



Menurut presiden, tida lolos TWK tidak serta merta dijadikan dasar untuk  memberhentikan mereka, Masih ada opsi lain misalnya diberikan pendidikan khusus tentang wawasan kebangsaan. Selain itu presiden setuju dengan Keputusan MK atas uji material terhadap UU KPK yang menyatakan bahwa pengalihan status kepegawaian pegawai KPK menjadi ASN, tidak boleh merugikan kepentingan para pegawai KPK.



Sekarang kita menunggu bagaimana langkah nyata pimpinan KPK, Kementerian PAN RB, dan Badan Kepegawaian Negara merespon perintah presiden. Apakah akan segera mengembalikan dan mengaktifkan kembali ke-75 pegawai KPK yang sudah terlanjur dibebas tugaskan atau masih mau "bermain-main" dengan emosi dan dukungan publik dengan tetap membebastugaskan mereka, walaupun resikonya sangat besar yaitu melawan aspirasi publik dan nalar sehat. Kita tunggu saja, episode berikutnya apa yang akan terjadi?



*Penulis adalah akademisi Universitas Muhammadiyah Bengkulu, anggota dewan pakar JMSI Bengkulu


Kategori: Opini