Wacana Pemilu Ditunda, Konstitusional atau Cek Ombak?

Diposting: 22 Aug 2021
Ilustrasi, Foto: Dok Jeremy Bishop/unsplash
"Dalam konstitusi hanya masa jabatan presiden yang dibunyikan dalam frasa norma "5 tahun", ini artinya pasal "absolut". Beda dengan Kepala Daerah, anggota DPR, DPD, dan DPRD, dalam konstitusi tidak ada frasa norma yang mengatur soal masa jabatan mereka, seperti layaknya masa jabatan presiden"
Kesimpulan saya diatas, sengaja ditempatkan pada kalimat pembuka tulisan ini, agar kita diberikan space yang cukup untuk mencakapkan wacana penundaan pemilu secara konstitusional, dikaitkan dengan narasi "masa jabatan presiden tiga periode."
Jika sebelumnya muncul wacana masa jabatan presiden tiga periode, kini kembali mencuat isu soal penundaan pemilu dan pilkada yang seharusnya dihelat tahun 2024 menjadi tahun 2027. Kontan saja, wacana penundaan pesta demokrasi tersebut menimbulkan reaksi pro dan kontra di ruang publik. Umumnya publik menolak wacana ini karena dinilai melabrak konstitusi, UU, dan sistem elektoral yang sudah baku. Dalam konstitusi jelas disebutkan di pasal 7 UUD 1945 bahwa "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan." Jika merujuk pada konstitusi maka, masa jabatan presiden sekarang akan berakhir pada tahun 2024 nanti.
Dalam konstitusi masa jabatan presiden diatur dan dibunyikan dalam norma secara tegas, dengan menyebut frasa "lima tahun". Ini artinya secara yuridis merupakan pasal "absolut" dan tidak ada ruang untuk dilakukan penafsiran. Bunyi yang tegas dan absolut terkait masa jabatan ini hanya untuk jabatan presiden. Sedangkan untuk masa jabatan anggota DPR, DPD, DPRD, dan kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota) dalam konstitusi tidak disebutkan secara eksplisit layaknya masa jabatan presiden.
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hanya berbunyi "gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Jelas sekali dalam konstitusi tidak disebutkan dalam norma tentang berapa lama masa jabatan kepala daerah, sebagaimana layaknya masa jabatan presiden yang dibunyikan "5 tahun." Dalam konteks ini penulis ingin menegaskan, jika masa jabatan presiden itu sudah final 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Oleh sebab itu wacana masa jabatan presiden 3 periode secara konstitusional sudah tertutup dan final. Pengecualian apabila dilakukan amandemen pasal 7 UUD 1945 yang menurut penulis dilihat dari suasana kebatinan bangsa tidak ada potensi sedikitpun akan mengarah pada proses itu. Selain mengamputasi konstitusi, melawan takdir sejarah juga melawan arus utama (mainstream) bangsa ini.
Sebenarnya, jika merujuk pasal 18 ayat (4) UUD 1945, jika jeli dan sedikit nakal, justru masa jabatan kepala daerah (gubernur, bupati dan wali kota) dan anggota legislatif (DPR, DPD, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota) yang justru dimungkinkan untuk "diutak-atik" masa jabatannya karena secara konstitusional tidak disebutkan secara tegas masa jabatannya sebagaimana layaknya masa jabatan presiden. Masih ada ruang penafsiran dan perdebatan secara hukum. Soalnya, jika merujuk ke pasal 22E ayat (1) UUD 1945 berbunyi "Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap 5 tahun sekali." Jelas sekali pasal ini, yang diatur itu hanya soal pelaksanaan pemilu yang dilakukan setiap 5 tahun sekali dan tidak mengatur soal masa jabatan.
Saya melihat wacana penundaan Pemilu itu sebagai "tes water" atau dalam bahasa politiknya "cek ombak" untuk menguji bagaimana pendapat dan tanggapan publik terhadap isu tersebut. Jika opini publik setuju, baru dilakukan langkah nyata misalnya dengan mengamandemen UUD 1945 tapi sebaliknya jika publik menunjukkan penolakan, maka anggap saja narasi wacana yang biasa di negara demokrasi.
Apalagi pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI secara kelembagaan sudah mengeluarkan release yang menyatakan bahwa Pemilu dan Pilkada akan tetap dilaksanakan pada tahun 2024 sesuai dengan regulasi, yaitu merujuk pada UU Nomor: 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Hal ini sekaligus membantah isu soal penundaan Pemilu dan Pilkada yang ramai dibicarakan di ruang publik.
Penulis: Elfahmi Lubis, Akademisi Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Dewan Pakar JMSI Bengkulu
Artikel Terkait Berdasarkan Kategori
-
Advokasi Compensation and Benefit Layak Bagi Tenaga Pendidik
11 Dec 2024
-
Operasi KPK Pemantik Chaos Pilkada Bengkulu?
24 Nov 2024
-
Menyelami Bentuk-bentuk Media Massa: Dari TV ke Tiktok, Bagaimana Gen Z Terhubung?
06 Oct 2024
-
Menuju Green Election; Urgensi Pengaturan Tanggungjawab Limbah Alat Peraga Kampanye
27 Sep 2024
-
Membangun Ekosistem Kendaraan Listrik
09 Sep 2024
Topik Terkait Berdasarkan Tags
-
Status Tersangka Rohidin Bisa Gugur, Dilantik Jika Menang
26 Nov 2024
-
Bawaslu Keluarkan Surat Pemanggilan Kedua untuk Helmi Hasan
02 Nov 2024
-
LBH-AP Muhammadiyah Bengkulu Kecam Aksi Pembubaran Diskusi FTA
29 Sep 2024
-
Nomor Urut Paslon Pilkada Seluma: Teddy-Gustianto 1, Erwin-Jonaidi 2
23 Sep 2024
-
DPC PKB Seluma Solid Dukung Cak Imin Kembali Jabat Ketua Umum
15 Aug 2024