Survey atau Dukun Politik?

Gambar

Diposting: 05 Aug 2020

Sumur Tua di rumah pengasingan Bung Karno banyak dikunjungi tokoh-tokoh politik untuk membasuh muka saat berkungjung ke Bengkulu, Poto:Dok/Ditjenbud, Kemendikbud RI



Setiap menjelang hajat politik yang bernama Pemilu atau Pilkada, muncul fenomena baru yaitu ‘dukun’ politik. Dalam konteks yang lebih akademis, membedakan antara dukun politik dengan survey Pilkada sungguh sangat sulit, karena antara kedua terminologi tersebut dalam banyak kasus hampir mirip. Kalau begitu antara surveyor dengan dukun sama dong? 



Anda bebas memberikan jawaban, boleh ya dan boleh juga tidak tergantung dari sisi mana anda melihatnya. Dukun selama ini kita persepsikan berhubungan dengan hal-hal yang irasional dan magis, bahkan tidak jarang dengan irasionalitasnya itu orang yang sangat rasional pun sering terperdaya dan percaya dengan si tukang nujum. 



Dalam konteks politik modern, praktek perdukunan politik laris manis dan tidak jarang menjadi instrumen dan referensi penentu. Inilah dalam istilah saya dinamakan "politik teluh" memotret ruang elektabilitas calon yang akan bersaing dalam kontestasi politik melalui sebuah penerawangan batin (katanya, namun dalam realitas obyektif sebenarnya abal-abal) berbasiskan kekuatan supranatural yang dimiliki. 



Bahkan tidak jarang dibarengi embel-embel mantra dan benda-benda keramat untuk menyakin si pemberi orderan (baca para calon kepala daerah). Menjelang Pilkada seperti saat ini, jangan heran tempat-tempat keramat atau kuburan menjadi ruang mediasi politik bagi sang dukun untuk memburu aura elektabilitas. 



Dalam konteks Bengkulu, misalnya konon membasuhkan muka dari air sumur sebuah "rumah bersejarah", dikabarkan kerap dilakukan para politisi yang akan bertarung dalam kontestasi politik, apakah itu Pemilu atau Pilkada. Soalnya, diyakini bisa menambah aura politik. Menurut Agus Trihartono dalam tulisannya berjudul "Dukun dan Politik di Indonesia"  menjelaskan seperti penumpang gelap kereta api, dukun dinafikkan dan tersembunyi dari gegeran studi politik. Soalnya,  perhatian banyak sekali tercurah kepada aspek-aspek yang dianggap rasional dan obyektif dalam Pemilu. Padahal, fenomena dukun dalam politik Pemilu di Indonesia sudah berlangsung lama dan bahkan terlalu gegabah untuk diabaikan. 



Dukun kerap kali dimanfaatkan karena kehadirannya dipercaya menguntungkan kekuasaan dan keamanan pengguna jasanya. Sebagai fenomena politik, keberadaan dukun di Indonesia sejalan dengan berkembangnya demokrasi modern pasca kemerdekaan. Dukun politik menjanjikan keuntungan dan kemenangan penggunanya di ranah politik. Walau hampir tidak ada catatan akademik bahwa dukun politik mendapat tempat dalam dinamika politik dan menjadi salah satu pilar lingkaran dalam kekuasaan elit. 



Bukan hanya para pemain politik lokal di daerah, Soeharto sebagai “orang besar” disebut-sebut sangat kental dengan wilayah abu-abu ini. Kuatnya pemikiran mengenai rasionalistas-obyektif rekrutmen politik telah memunculkan anggapan bahwa peran dukun politik berakhir. Nyatanya, praktek dukun dalam setiap kontestasi politik, termasuk Pilkada, disinyalir tetaplah kuat.  Sekarang dimusim Pilkada muncul bentuk "perdukunan modern" yang kita kenal dengan "survey". Jika dukun politik bekerja pada wilayah irrasionalitas dan tidak menggunakan basis akademis, sebaliknya survey mengklaim diri sebagai pekerjaan berbasis akademis dan menggunakan metodologi ilmiah. Itu idealnya yang kami kenal di dunia kampus atau akademik, namun tidak jika sudah dibawah keluar ke kandang politik praktis. 



Soalnya, dalam banyak kasus survey yang awal sebuah metodologi ilmiah, bisa dibuat seperti karet yang bisa ditarik kemana saja oleh sang surveyor, tergantung kepentingan dan keinginan si pemberi orderan. Survey yang sejatinya cara ilmiah untuk memotret persepsi publik (pemilih) terhadap kandidat melalui simulasi variabel elektabilitas, kini menjadi "bahan dagangan" bernilai ekonomis tinggi. Bahkan tidak jarang survey menjelma menjadi "penyesatan" opini publik terhadap fakta yang sebenarnya dari seorang kandidat. 



Namun terlepas dari itu semua, saya masih mempercayai bahwa survey merupakan instrumen ilmiah yang membantu mengukur elektabilitas dalam proses kontestasi politik. Jika ada tim sukses atau kandidat yang tidak setuju dengan hasil dari sebuah lembaga survey, mungkin karena alasan tidak menguntungkan dirinya, silakan lawan dengan cara yang ilmiah juga dengan melakukan second survey. Bukan dengan cara menghujat hasil survey tersebut. 



Selanjutnya kepada lembaga survey, agar dalam melakukan survey untuk tetap menjaga integritas, moralitas, kredibitas, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran sebagai ciri kerja akademis. Selama berservey ria, dan anggap saja sebagai entertainment politik.



Penulis adalah Elfahmi Lubis, Dosen di Jurusan Ilmu Pendidikan Kewarganegaraan, Universitas Muhammadiyah Bengkulu


Kategori: Opini