Sinergitas Sosial di Tengah Bencana

Gambar

Diposting: 01 Apr 2020

Oleh: Qolbi Khoiri*

Perbincangan penanganan dan tindakan pemerintah mengenai bencana non alam yang kini melanda Indonesia sesungguhnya sudah diimplementasikan dengan berbagai kebijakan, terakhir Presiden menetapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang kemudian hari ini (31/03) diikuti dengan penetapan Darurat Kesehatan, hal ini merupakan lanjutan dari himbauan Sosial Distancing/Pshiycal Distancing (Pembatasan Sosial/Pembatasan Fisik) yang sebelumnya dianggap kurang efektif, sehingga diperlukan tindak lanjut yang lebih tegas guna mengurangi ekses dan korban lebih besar lagi.



Per tanggal 31 Maret 2020, di Indonesia pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19 sebanyak 1.528 kasus, dalam perawatan 1311 orang, yang tersebar di 32 provinsi. Total kasus positif COVID-19 yang berakhir dengan meninggal dunia ada 136 orang. Sampai hari ini, angka kesembuhan mencapai 81 orang.



Sementara itu, di Provinsi Bengkulu menurut catatan laporan berkala yang disampaikan oleh tim gugus penangan COVID-19 Provinsi Bengkulu yang dapat diakses melalui situs covid19.bengkuluprov.go.id, terdapat 1 orang yang tekonfirmasi COVID-19, sementara ODP sebanyak 199 orang, dengan selesai pemantauan 48 orang, jadi total 247 Orang. Jumlah PDP 4 orang yang dinyatakan sehat/selesai 2 Orang, dan terkonfirmasi positif COVID-19 1 orang. Secara statistik, yang meninggal berjumlah 4 orang terdiri dari 1 orang positif Covid-19, 1 Orang status ODP dan 2 orang status PDP.  



Saya tidak akan mengomentari atau membahas mengenai perdebatan yang muncul akibat tergerusnya Bengkulu per hari ini (31/03) dari zona hijau menjadi zona merah, sebab menurut saya sudah tidak elok kiranya saling menghujat, menyalahkan dan atau pula menjadi merasa paling benar atas usulan, gagasan, tindakan yang dilakukan sebagai upaya preventif selama ini. Menurut saya, yang paling urgen dan mendesak adalah, apa sikap dan tindakan kita setelah Bengkulu beralih dari Zona Hijau menjadi Zona Merah.



Perkembangan hari demi hari kedepan akan sangat mengkhawatirkan, meskipun tidak pula boleh terlalu paranoid, sebab jika itu yang terjadi maka akan semakin memperburuk keadaan, yang menurut ahli medis hal tersebut tidak baik bagi sistim imun tubuh kita, psikosomatis menurut istilah para psikolog.



Apa yang hendak saya sampaikan adalah, bahwa situasi ini adalah situasi global dan Indonesia khususnya Provinsi Bengkulu bukanlah yang pertama terdampak. Banyak pengalaman dan pelajaran dari setiap peristiwa, berbagai model dan pendekatan penanganan dan penyelesaian telah dan pernah dilakukan. Tinggal kemudian bagi kita mengadopsi, mengadaptasi atau bisa jadi memodifikasi pola dan model penanganannya.



Namun, sekali lagi hal ini tidak akan dapat terjadi, manakala egoisme struktural dan kultural masih di kedepankan. Ini bukan lagi persoalan politik, bukan pula soal kepentingan kelompok atau golongan, bukan masalah harga diri, bukan pula masalah arogansi. Akan tetapi ini adalah masalah kolektif kita sebagai anak bangsa, sebagai penduduk yang daerahnya sudah dinyatakan tidak bebas dari Covid-19.



Secara kultural, saya kira ini saatnya membuktikan, bahwa kita adalah manusia beradab, beretika, memiliki simpati dan empati. Biarlah sosial distancing (jaga jarak sosial) sebagai slogan yang diikuti sebagai antisipasi dalam rangka memutus rantai penyebaran Covid-19, akan tetapi jangan pula diikuti dengan memutus rantai kepedulian dan perhatian sosial kita. Apapun kondisinya, kita masih memiliki tanggung jawab sosial sebagai makhluk yang diciptakan untuk saling berinteraksi, saling membutuhkan dan saling melengkapi, struktural fungsional kalau menurut teori.



Disamping itu, perlu diingat bahwa peristiwa ini adalah pembelajaran bagi kaum yang berfikir. Kaum yang dimaksud adalah orang yang ada didalam dirinya kesadaran akan ketundukan atas keterbatasan diri, bahwa ada kuasa-Nya yang menentukan. Oleh karena itulah, maka potensi fikir ini yang harus diberdayakan semaksimal mungkin. Ini saatnya membangun sinergitas, penanganan terhadap yang terkonfirmasi Covid-19 serahkan kepada ahlinya, yang bukan ahli lebih baik diam saja. Pemerintah harus maksimal dalam hal ini.



Mengenai alat bantu penanganan seperti ADP, Nutrisi bagi tenaga medis dan peralatan lainnya, agaknya perlu urun rembuk dan turun tangan dari berbagai pihak, saya yakin sudah ada yang menggerakkannya namun kiranya dipertimbangkan bahwa pergerakan ini akan kurang efektif jika tidak dibangun sinergitas.



Bagi saya dan kita yang tidak punya keahlian dalam bidang penanganan, saatnya kita bertindak untuk lebih memfokuskan energi kita kepada mereka yang terdampak. Kebijakan dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan status darurat kesehatan ini mau tidak mau akan berdampak pada mereka yang selama ini bergantung pada aktifitas harian atau temporer, oleh karena itulah maka harus ada yang konsen pada aspek ini. Banyak cara yang bisa dilakukan, namun jika penangannya bersifat parsial, maka akan terasa lambat dan akan tidak efektif. Menurut saya, harus ada sinergitas pula dalam menggerakkannya.



Sekali lagi, saya tidak bermaksud mengenyampingkan tanggung jawab negara dalam hal social impact dari peristiwa ini, namun yang ingin saya tegaskan adalah, bahwa kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ini  diberlakukan dalam rangka memutus mata rantai penyebaran Covid-19,  akan tetapi jangan sampai mengakibatkan banyak orang terdera kehidupannya sehingga menjadi tak layak dan terpuruk bahkan terlantar. Kita yang masih memiliki social empati, perlu bergerak bersama-sama dan bersinergi untuk mengantisipasi hal ini. Quote terbaik sebagai penutup tulisan ini Jangan Sampai Keegoisan Kita, Menelantarkan Banyak Manusia”. Wallahu A’lam Bisshawab.



*Penulis adalah Ketua Program Doktor IAIN Bengkulu


Kategori: Opini