Penyelusuran Sabrie

Diposting: 17 Mar 2018

Cerpen : Benny Hakim Bernardie 



Hembusan badai saat fajar menyingsing, kian membuat riuh gemuruh ombak laut menghempas kepinggiran pantai. Liuk pohon nyiur tampak bergoyang melambai. Tak tampak kerisauan dari penduduk setempat dengan kondisi ini, selain lolongan anjing dan kokok ayam yang bersahutan.



Tak jauh tepian pantai, berjajar sampan para nelayan yang ditambatkan. Dari Bukit Tapak Paderi, tampak perkampungan masyarakat Tionghoa yang merupakan penduduk tua, saat Negeri Bengkulu masih banyak hutan belantara.  Sebuah negeri dibawah fasal Banten yang banyak menyimpan sejarah peradaban manusia.



Sabrie  tersentak bangun dan bergegas menuju kesumur  untuk berwhudu. “Masya Allah  sudah terang hari ini......”, pikirnya sembari menggerek timba. Rupanya ini kali pertama Sabrie telat bangun, akibat malam itu mengenang ceritera datuknya, saat Inggris kuat bercokol di negerinya.



Usai sholat subuh, dari dalam rumah berdindingkan pelupuh dan beratapkan rumbia, Sabrie segera meyeduh kopi yang ditumbuk Emaknya kemarin. Mumpung rebusan air panas masih hangat, sisa orang tuanya sebelum berangkat ke Surau. Secangkir kopi menghangatkan tubuhnya dari dinginnya negeri yang sempat disebut Negeri Tanah Mati ini. 



Hari itu Ahad 12 Rabiul Akhir, 1912. Sabrie memang tak mau ikut kedua orang tuanya untuk membersihkan kebun kopi dan pisang mereka. Kesendiriannya dirumah, membuat dirinya kembali mengenang cerita datuknya. Ketertarikan Sabrie akan mengenang hal itu, usai sepekan lalu diri membaca kabar dari selebaran penguasa soal harga lada, cengkeh, pala dan kopi akan anjlok. Kegusaran itulah berawal, karena menyangkut pendapatan hasil pertanian keluarga besarnya.



“Sabrie...Sabrie.....Kau ada di dalam rumah ya?” Teriak  Uwan Saleh, kakak ayahnya yang melintas di samping  rumah dari daerah Pasar (Marga) Melitang. 

    “Sayo Wan”, sembari melongok dari  jendelah rumah. “Ada apa Wan?”.

    “Kalau tak ada kegiatan, mau tidak kau menjualkan kopi milik Uwan ke pekan? Kalau mau, nanti ada upah buat kamu”.      



Sabrie menggelengkan kepala. Menjawabpun sungkan. Uwan Saleh tak melanjutkan pertanyaannya dan segera pergi berlalu.  Saat hendak kembali duduk di balai-balai bambu rumah, teringat dirinya akan surat datuknya saat masih bekerja di pemerintah Inggris. Kumpulan surat itu tersimpan rapi di dalam peti yang di gantung diatas tiang bubungan rumah.



Berupaya diambilnya tangga untuk menurunkannya peti yang terbuat dari besi itu. “Ah periksa sajalah, mumpung tidak ada orang dirumah”, kata Sabrie dalam hati. 



Dengan berlahan, peti yang berdebu itu di buka. Dari dalam peti, banyak tulisan dari yang berbahasa Inggris, Belanda hingga Melayu Tinggi.  Dari catatan datuknya terkuak, kalau Kerajaan Selebar yang kini telah luluhlantak itu, memang merupakan fasal Banten. Dalam peta kuno tampak Negeri Banten kala itu masih bernama Phalimbam.



Sabrie tampak hanyut dalam catatan tua mendiang  datuknya. Apalagi dirinya baru tahu, kalau negerinya ini kaya dan penghasil lada, cengkeh, pala dan kopi, yang semunya dijual pada  kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa. 



“Oo....rupanya ini sebenarnya”, cetus  Sabrie sembari menganguk-angukan kepala, usai membaca tulisan bahwa pada tanggal 12 Juli 1685, Kerajaan Selebar menandatangani sebuah perjanjian dengan British East India Company dan memberi Inggris hak untuk membangun sebuah gudang dan benteng pertahanan.

****

    Sang surya sudah tergelincir sepenggalan. Sinar dari sela-sela atap rumbia, tepat menyinar muka Sabrie. Diambilnya beberapa tulisan dari dalam peti, dimasukannya kedalam kambut, semacam tas yang terbuat dari jalinan tali.



Rencananya pagi ini dirinya hendak berkunjung  ke daerah utara,  Dusun Pasar Bengkulu. Rasa keingintahuan itu timbul setelah melihat catatan tentang gudang dan benteng yang ditulis dalam sebuah tulisan. Ditambah lagi dirinya juga  sudah hampir enam bulan tidak pernah bertandang kerumah sanak saudara di dusun itu,



Tanpa mengenakan alas kaki, Sabrie melitas dibawah pepohonan besar menuju di perkampungan Tionghoa. “Pagi-pagi bawa kambut mau kemana anak muda? Awas tentara Belanda patroli bisa kena razia nanti”, sapa seorang Taci yang sedang membuka pintu tokonya. 



“Mau Pasar Bengkulu Ci. Kesiangan tampaknya nih?” jelas  Sabrie yang disambut senyuman oleh Taci pedagang toko kain.



Saat melintas, pandangan Sabrie tertuju ke Benteng Marlborough yang sebenarnya hampir setiap hari dilihatnya. Namun baru hari ini langkahnya terhenti.



Tatap matanya terlihat dalam, dan keningnya berkerut karena lamunan. Tentunya ulah  Sabrie itu terlihat aneh oleh warga yang lalu lalang. “Jangan dipikirkan nian benteng itu Yung. Tak bakalan roboh temboktu”, goda beberapa orang tua yang melintas pada Sabrie. Namun lamunan Sabrie tak goyah. Bahkan sesekali diambilnya  catatan dari dalam kambut dan kembali memasukannya dengan hati hati.



Untuk mendekati  Benteng Marlborugh yang oleh masyarakat  setempat  disebut Benteng Malabero peninggalan Inggris itu, hal yang mustahil. Dari atas benteng, tampak para penjaga bersenjata berjaga, mengamati sekeliling benteng,



Dari catatan itulah, Sabrie tahu kalau Benteng Marlborough  berdiri kokoh di negerinya selama ini dibangun pada Tahun 1713-1719. Ini merupakan benteng terakhir yang dibangun Pemerintah Inggris, sebagai simbul kekuasaan dan pengaruh dibagian barat Pulau Sumatera hingga Tahun 1825, Tepat 139 tahun mereka berkuasa di Negeri Bengkulu ini.

****

Langkah kaki Sabrie terus menuju pinggiran pantai yang  jaraknya  hanya beberapa ratus meter dari benteng tempatnya tadi berdiri. Niatnya ke Dusun Pasar Bengkulu dengan berbagai harapan dilanjutkan.



“Aku tahu, tapi aku tak tahu kalau aku tahu. Aku tak tahu kalau aku tahu, karena aku tidak tahu”. Syair itulah yang mengiringi langkah kaki Sabrie  



Usai keringat mengucur hingga membasahi tubuhnya, perjalanannya baru terhenti dirumah sanak saudaranya. Peluk ciumpun mengiringi kerinduan mereka, setelah beberapa bulan tidak ketemu.



“Apakabarnya Mak sama Bak kau kini? Sudah lama kami keluarga tak berjumpa”, tanya Bakdang, yang merupakan sepupu dari ayanya Sabrie.      



“Alhamdulillah baik dan sehat. Sengaja Sabrie kesini tidak bilang dulu sama Bak dan Emak, karena mereka dari fajar pergi kekebun. Katanya kopi sama pisang serinditnya  sudah siap panen Bakdang”, jelas Sabrie disambut suka cita oleh keluarganya di Pasar Bengkulu. 



Usai disuguhi makan dan minum, Sabrie berceritalah soal kedatangannya, selain bersilaturrahim dengan  sanak keluarganya. Bakdang yang kini usianga menginjak 80 tahun terlihat sumringah. “Tak banyak anak negeri ini sepeti kamu nak.....Semoga kamu nanti bisa menjadi guru di negeri ini, dengan mengajarkan sejarah yang ada di tempat kita ini”, doa Bakdang senang melihat keponakannya yang mulai menginjak remaja. 



Bakdang yang semasa mudanya sudah keliling nusantara bercerita, kalau sebelum Benteng Marlborough tegak berdiri, ada benteng lain yang di buat oleh Pemerintah Inggris. Namanya Fort York yang di banguan 1685.  “Kau pergi dekat batang air di daerah bukit itu, disanalah tempat Fort york itu pernah dibangun”,  jelas Bakdang sembari menunjuk daerah bukit dipinggiran sungai yang letaknya sekitar lima puluh meter dari rumahnya.  



Anggukan kepala Sabrie seakan tak pernah berhenti saat Bakdang mulai bercerita. Beberapa sanak keluarganya yang lain tampak kurang menghiraukan cerita lama pusaka usang itu. Malah ada yang tetap sibuk mengurus jaring ikannya yang tampak kusut usai pulan dari melaut tadi malam.



Sembari menghisap rokok daun nipah, Bakdang terus bercerita. Negeri Bengkulu ini jelasnya,  adalah satu-satunya koloni Inggris di Asia Tenggara selama lebih dari 140 tahun. Negeri ini sebagai sumber alternatif  lada. “Nah.....Setelah Belanda menguasai Islandia di abad ke-17,  Bengkulu sebagai pos terdepan penguasa  Inggris kecil yang berada di India ini tidak pernah dihargai”,  jelas  Bakdang tampak dengan semangatnya bercerita.



“Kalau begitu negeri kita ini akan maju ya Bakdang! Bisa kita bayangkan nanti, Negeri Bengkulu di Tahun 2018 bukan main maju dan sejahteranya negeri ini”. 



Tersenyum sanak keluara yang mendengar khayalan Sabrie, termasuk Bakdang. Jangan terlalu jauh kau berfikir Sabrie”,  celetuk sepupunya yang lain,  membuat Sabrie ikut tertawa geli.



“Bisa jadi, bisa juga tidak” kata Bakdang sembari menyeruput kopi. “Tapi sayangnya, kebutuhan Inggris terhadap lada, kopi dan hasil bumi lainnya beberapa tahun terakhi nila belinya mulai turun. Informasinya, negeri kita Bengkulu ini terlalu jauh dari jalur perdagangan utama dunia. Ditambah lagi banyak para pegawai Inggris bosan tinggal di negeri kita. Banyak pegawai mereka yang mati karena malaria dan kolera”.

****

Mendengar paparan Bakdang, Sabrie langsung mengambil catatan yang ada didalam kambutnya, guna menghubungkan apa yang dikatakan Bakdang tadi. Agak sedikit terbelalat mata Sabrie, ternyata apa yang ada di catatan milik datuknya itu sangat nyambung dengan yang diceritakan. 

 “Benar itu Bakdang. Ini ada catatanya, saya bacakan. Pada awal inggris bercokol, ada sebuah kapal lau Eropa yang ditambat dilepas pantai. Benteng itu kondisinya dikelilingi kayu penyangah yang miring. Ada dua orang sibuk menulis. Namanya Benjamin Bloome dan Joshua Charlton”.



“Terus ....Lanjutkan”, pinta Bakdang.



“Dari kapal laut yang tertambat itulah kedua orang itu mengirim pesan pertama mereka kepada  penguasa Inggris East India Company di Fort St George di Madras di India. Mereka menulis catatan tentang usaha frustrasi mereka, untuk mendirikan perdagangan lada yang efektif,  sebelum akhirnya sampai pada misi yang direncanakan”.



Bakdang terlihat kagum. “caatatan dari mana itu kau peroleh?”



“Dari catatan mendiang datuk yang tersimpan dibubungan rumah. Saya lanjutkan Bakdang. Jawab Sabrie. “Kami sekarang akan memberi Yang Mulia sebuah catatan tentang keadaan dan kondisi menyedihkan kita, yang mana hibah Tuhan lebih baik. Kita semua sakit,  karena tidak mampu membantu satu sama lain. Tidak lebih tiga puluh orang yang baik-baik saja. Dari pekerja kulit hitam, tidak ada di atas 15 yang mampu bekerja. Dari mereka mati sekitar 40 dan setiap hari ada yang mati. Semua pelayan kita sakit dan mati. Pada saat ini tidak ada seorang juru masak yang bisa mendapatkan bekal untuk orang-orang yang duduk di meja perusahaan. Kita  telah berkali-kali berpuasa. Orang sakit terbengkalai. Ada yang menangis untuk minta obat, tetapi tidak ada yang bisa didapat: Mereka yang tidak dapat makan, karena  tidak memiliki satupun untuk dimasaknya. Jadi kita sekarang hidup untuk mengubur orang mati. Jika seseorang sakit, maka  orang lain tidak akan memperhatikan, karena itu lebih baik daripada dua orang meninggal Bengkulu sudah terbukti menjadi neraka di bumi ...”.



Adiksanak yang tadinya tampak acuh tak acuh akhirnya mendekat, setelah mendengar apa yang dibaca Sabrie dari catatan mendiang datuknya. Termasuk  Abbas yang kesehariannya dihabiskan hidupnya dilaut mencari ikan.



“Beberapa bulan lalu, saya juga pernah dapat kenalan orang Belanda, saat meminta ikan ditengah laut. Saat ini memang orang Belanda yang menguasai, mengusir mereka dari Jawa dan Maluku. Karena itu orang   Inggris digulingkan dan kini mencari basis alternatif  wilayah yang memiliki nasib buruk. Itulah Bengkulu, di pesisir barat Sumatera yang kurus”, sela Abbas  mendadak antusias ikut nimbrung.

 

Kategori: Cerpen

Artikel Terkait Berdasarkan Kategori