Gubernur Rohidin Beri Lampu Hijau untuk Perda Konservasi Rafflesia

Diposting: 18 Nov 2019
Bunga Rafflesia adalah Identitas Provinsi Bengkulu dan Sebagai salah satu Puspa Langka dari Tiga Bunga Nasional Indonesia. Foto/Dok: URBAN RUNNER
Indo Barat - Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, memberi lampu hijau terkait usulan pembuatan Peraturan Daerah (Perda) Konservasi Bunga Rafflesia. Hal ini juga dikatakan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Bengkulu, David Gusman, Ia mengatakan setuju dengan pendapat Gubernur Bengkulu.
David berjanji, pihaknya akan mengawal pembuatan Perda Konservasi. Perda yang saat ini didorong adalah Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), serta mengoptimalkan pelaksanaan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Bunga Rafflesia dan Amorphophallus yang telah disahkan.
Peneliti Rafflesia dan Amorphophallus Agus Susatya, sebelumnya juga sudah mengusulkan cara menjaga bunga Rafflesia dengan mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat. Dengan demikian, masyarakat akan menjaga habitat Rafflesia dari oknum perambah yang merugikan.
Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah memberi lampu hijau terkait usulan pembuatan Peraturan Daerah (Perda) Konservasi Rafflesia yang digaungkan Komunitas Peduli Puspa Langka (KPPL) Bengkulu bersama Peneliti Rafflesia dan Amorphophallus Universitas Bengkulu. “Bisa saja, saatnya menjaga hutan agar anak cucu kita bisa melihat bunga langka itu,” terang Rohidin kepada Mongabay melalui pesan WhatsApp, Kamis (05/9).
Orang nomor satu Bengkulu ini juga menyampaikan, memang seharusnya peraturan dibuat untuk menjaga hutan Bengkulu. Terlebih, habitat Rafflesia. “Kita coba diskusikan dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Pak Agus (Peneliti Rafflesia dan Amorphopahalus),” lanjutnya.
Penegasan Rohidin muncul setelah Ketua KPPL Bengkulu, Sofian mengeluhkan adanya oknum yang membuka objek wisata bunga Rafflesia arnoldi dadakan.
Menurut Sofian, kondisi ini menjadi ancaman ekosistem Puspa Langka Nasional itu di habitatnya. Dari penelusuran KPPL, wisata Rafflesia dadakan itu, yakni pelayanan jasa kunjungan dengan jaminan melihat langsung di lokasi tidak jauh jalan raya, hanya akal-akalan. Usut punya usut, ternyata oknum warga yang memindahkan Rafflesia dari inangnya di hutan ke pinggir jalan. “Cara itu tak dibenarkan, karena merusak inang, yang merupakan bagian bunga paling penting,” tegasnya akhir Agustus 2019 lalu.
Ketua Komunitas Peduli Puspa Langka (KPPL) Bengkulu Sofian saat berpose di antara Bunga Rafflesia. Foto:Sofian Rafflesia
Tumbunan inang sangat penting bagi keberlangsungan hidup Rafflesia. Bunga yang memiliki lima kelopak dengan ukuran 70 hingga 90 cm, tinggi mencapai 50 cm, tanpa akar, tanpa daun dan tanpa batang itu, takkan hidup kalau tidak menempel pada inang atau liana (Tetrastigma). “Pada satu inang, bisa hidup lebih dua Rafflesia, kalau dipotong satu, yang lainnya mati,” terang Sofian.
Sebab, Rafflesia termasuk parasit obligat, tumbuhan yang sepenuhnya mengantungkan sumber energi pada tumbuhan inang. Artinya, ia hanya hidup dalam sel dan jaringan inang hidup.
Perusakan juga menggagalkan proses reproduksi bunga langka tersebut. Sebab, organ reproduksinya yaitu benang sari dan putik, berada di tengah dasar bunga berbentuk melengkung. Penyerbukan dibantu serangga yang tertarik karena bau bunga selama mekar sekitar 5-7 hari.
Sofian menegaskan, pemindahan Raffesia berkaitan erat dengan perambahan hutan di Bengkulu. “Kami menemukan, yang memindahkan adalah perambah,” terangnya.
Ia mengatakan, dengan terbitnya perda ini nanti, agar Habitat Rafflesia lebih di perhatikan pemerintah, keberlangsungan hidup bunga Rafflesia terjaga dan terus lestari, sanksi dan hukuman bagi perusak bunga rafflesia juga jelas.
Dirinya berharap Peraturan Daerah (Perda) Konservasi Bunga Rafflesia segera disahkan. “ Kami sangat menanti adanya perda itu dan Provinsi Bengkulu bisa menjadi pusat penelitian Rafflesia Dunia,” kata Sofian kepada Bengkuluinteraktif.com melalui pesan WhatsApp, Sabtu (16/11).
Peneliti Rafflesia dan Amorphophallus Universitas Bengkulu, Agus Susatya telah mengusulkan, cara menjaga Rafflesia adalah dengan mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat. Dengan demikian, masyarakat akan menjaga habitat dari oknum perambah yang sangat merugikan itu. “Langkah awal, harus rutin sosialisasi ke masyarakat, mulai dari pentingnya Rafflesia, bagaimana cara menjaga, apa saja yang merusak, serta dampak ekologi dan ekonomi bagi masyarakat,” katanya.
Bila konsep konservasi dengan ekowisata berjalan, diharapakan tumbuh tanggung jawab masyarakat untuk menjaga dan memelihara.
Agus juga menegaskan, menjaga Rafflesia harus ada kerja lintas sektoral, mulai peneliti, pakar hukum, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pariwisata, komunitas, kelompok masyarakat, dan lainnya untuk menguatkan legalitas hukum. Tujuannya, ada Perda Konservasi Rafflesia. “Perda untuk mendukung pelestarian keanekaragaman hayati, meningkatkan fungsi lingkungan hidup, dan tercipta keseimbangan ekosistem,” ujarnya.
Dirinya berharap perda Konservasi Rafflesia nantinya dapat memberikan perhatian, penghargaan khusus bagi pelaku konservasi.
“Harapannya, perdanya bisa membangkit konservasi rafflesia memberikan perhatian, penghargaan, khusus bagi kawan- kawan pelaku konservasi membantu mereka dalam bentukkebijakan dukungan program dan pendanaan,” sampai Agus kepada Bengkuluinteraktif.com melalui pesan WhatsApp, Sabtu (16/11).
Dinas Lingkungan Hidup janji kawal perda
Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Bengkulu, David Gusman mengatakan, setuju dengan pendapat Gubernur Bengkulu. “Kami berjanji akan menindaklanjuti rekomendasi Gubernur,” kata dia, Kamis (05/9).
“Tahun depan, bisa saja dimasukkan anggaran pembahasan perda tersebut,” lanjut dia.
Namun, David masih menimbang bila hanya Rafflesia dan Amorphopallus yang diatur. “Nanti komunitas harimau minta perda lagi, yang gajah sumatera juga, beruang madu dan lainnya bagaimana? Sementara, biaya membuat perda itu mahal,” katanya.
“Kami janji, akan membuat peraturan khusus yang mengatur semua flora dan fauna dilindungi dalam satu perda konservasi saja,” tambahnya.
Perda yang dimaksud David adalah Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). Rancangan perda ini dapat mengacu surat edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SE.5/MENLHK/PKTL/PLA.3/11/2016 tentang Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi dan Kabupaten/Kota. “Rencana perda ini sudah ada, dokumen akan disiapkan, semua jenis flora dan fauna, dan sumber daya alam di Bengkulu akan kita atur dalam RPPLH,” kata dia.
RPPLH akan ada pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam, pemeliharaan dan perlindungan kualitas fungsi lingkungan hidup, pengendalian pemantauan serta pendayagunaan pelestarian sumber daya alam, serta adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Pemanfaatan sumber daya alam berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan keberlanjutan proses, fungsi, dan produktivitas lingkungan hidup, keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.
Fokus SRAK Rafflesia dan Amorphophallus
Sejatinya, Rafflesia dan Amorphophallus sudah ada dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK). Bahkan, SRAK itu yang pertama di Indonesia untuk jenis flora atau tumbuhan.
SRAK dibuat Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya LIPI, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemda Provinsi Bengkulu, dan Dewan Riset Daerah Bengkulu. Bahkan sudah dideklarasikan pada acara International Symposium on Indonesian Giant Flower Rafflesia and Amorphophallus, 14-16 September 2015, di Bengkulu. SRAK berlaku 2015 hingga 2025.
Dalam SRAK dijelaskan, pengembangan ekowisata berbasis masyarakat dengan pola kemitraan multipihak, akan memperhatikan kondisi habitat, populasi, dan ancaman kepunahan. “Isi SRAK sudah bagus sekali, praktiknya harus dioptimalkan. Nanti, kami dukung dengan Perda RPPLH,” tandas David.
Untuk Diketahui, Rafflesia arnoldii atau padma raksasa merupakan tumbuhan parasit obligat yang tumbuh pada batang liana (tumbuhan merambat) dari genus Tetrastigma. Spesies Raflesia yang lainnya juga memiliki inang yang sama. Rafflesia arnoldii pertama kali ditemukan pada tahun 1818 di hutan tropis Sumatera oleh seorang pemandu yang bekerja pada Dr. Joseph Arnold yang sedang mengikuti ekspedisi Thomas Stanford Raffles, sehingga tumbuhan ini diberi nama sesuai sejarah penemunya, yakni penggabungan antara Raffles dan Arnold.
Rafflesia arnoldii tidak memiliki daun sehingga tidak mampu melakukan fotosintesis sendiri dan mengambil nutrisi dari pohon inangnya. Bentuk yang terlihat dari bunga Raflesia ini hanya bunganya saja yang berkembang dalam kurun waktu tertentu.
Keberadaannya seakan tersembunyi selama berbulan-bulan di dalam tubuh inangnya hingga akhirnya tumbuh bunga yang hanya mekar seminggu. Bunga Raflesia ini adalah identitas Provinsi Bengkulu dan sebagai salah satu puspa langka dari tiga bunga nasional Indonesia mendampingi puspa bangsa (melati putih atau Jasminum sambac) dan puspa pesona (anggrek bulan atau Phalaenopsis amabilis) berdasarkan Kepres No 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional.
Reporter: Ahmad Supardi
Editor: Alfridho Ade Permana
Artikel Ini telah Tayang Sebelumnya di Situs Berita Lingkungan Mongbay Indonesia dengan Judul: https://www.mongabay.co.id/2019/09/07/lampu-hijau-gubernur-bengkulu-untuk-perda-konservasi-rafflesia/